BAB
VIII
KESATUAN
HIDUP LOKAL TRADISIONAL
1.
PEMBATASAN
KONSEP
Kesatuan
Hidup Setempat. Secara nyata, kesatuan hidup setempat
selalu menempati suatu wilayah khusus. Apabila sebagian besar warganya mulai
memencar ke berbagai tempat lain, maka ikatan yang utama dari kesatuan itu
hilang. Orang yang tinggal bersama di suatu wilayah belum tentu merupakan suatu
kesatuan hidup apabila mereka tidak merasa terikat oleh rasa bangga dan cinta
kepada wilayahnya, sehingga ia tidak rindu untuk kembali ke sana apabila ia berada
di tempat lain. Dalam buku-buku ajar sosiologi, kesatuan hidup setempat disebut
community.
Sebagai
suatu kesatuan manusia, komunitas tentu saja mempunyai rasa kesatuan seperti
yang dimiliki hampir semua kesatuan manusia lainnya, namun perasaan kesatuan
dalam komunitas itu biasanya sangat tinggi, sehingga ada rasa kepribadian
kelompok, yaitu perasaan bahwa kelompoknya itu memiliki ciri-ciri kebudayaan
atau cara hidup yang berbeda dari kelompok lainnya. Tetapi di samping itu
seringkali ada juga perasaan negatif yang merendahkan atau menganggap aneh
ciri-ciri yang ada dalam komunitas lain.
Sifat
dari suatu komunitas adalah adanya wilayah dan cinta pada wilayah serta
kepribadian kelompok itu merupakan dasar dari perasaan patriotism,
nasionalisme, dll. Suatu negara memang dapat juga merupakan komunitas, apabila
cinta tanah air dan rasa kepribadian bangsa itu besar.
Bentuk
dari komunitas ada bermacam-macam; ada yang besar seperti misalnya kota, negara
bagian, negara, tetapi ada pula komunitas-komunitas kecil yaitu band, desa, RT, dll.
Komunitas
Kecil. Selain memiliki ciri-ciri komunitas pada umumnya
(yaitu adanya wilayah, cinta pada wilayah dan kepribadian kelompok), komunitas
kecil memiliki sifat-sifat tambahan yaitu :
a. Para
warganya masih saling mengenal dan saling bergaul secara intensif;
b. Karena
kecil, maka setiap bagian dan kelompok khusus ada yang di dalamnya tidak
terlalu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya;
c. Para
warganya dapat menghayati berbagai lapangan kehidupan mereka dengan baik.
Selama
manusia hidup di muka bumi ini sejak kurang lebih 2 juta tahun yang lalu,
sebagian besar dari waktu itu manusia hidup dalam masyarakat-masyarakat
berbentuk komunitas kecil. Komunitas kecil dalam zaman prasejarah berupa
kelompok-kelompok pemburu.
Komunitas-komunitas
kecil pada umumnya ada di daerah pedesaan. Di setiap negara pasti ada daerah
perkotaan dan daerah pedesaan. Di setiap negara pasti ada daerha perkotaan dan daerah pedesaan, tetapi ada negara-negara
yang lebih luas daerah pedesaannya, dan ada negara-negara yang lebih kecil
daerah pedesaannya. Di Eropa Barat dan Amerika Serikat jumlah penduduk yang
tinggal di daerah pedesaan lebih kecil daripada penduduk yang tinggal di kota.
Sebaliknya di negara-negara Eropa Utara, Eropa Timur dan hampir semua negara di
Asia, Afrika Tengah dan Selatan, jumlah penduduk pedesaan lebih besar. Di
Indonesia, menurut sensus 1961, sebanyak 85,4% dari seluruh jumlah penduduknya
adalah penduduk pedesaan.
Terutama
bagi bangsa-bangsa dengan penduduk pedesaan yang besar, pengetahuan tentang
komunitas kecil sangat penting, karena gejala dan masalah-masalah sosial yang
terjadi di tingkat nasional tidak terlepas dari gejala-gejala dan
masalah-masalah sosial yang terjadi di tingkat nasional tidak terlepas dari
gejala-gejala dan masalah-masalah yang terjadi dalam komunitas kecil (yaitu
desa-desa).
2.
BENTUK-BENTUK
KOMUNITAS KECIL
Komunitas-komunitas
kecil yang akan diuraikan (1) kelompok berburu (band), yang bermata pencaharian sebagai pemburu dan peramu, dan
berpindah-pindah tempat di dalam batas suatu wilayah tertentu, dan (2) desa,
yaitu kelompok kecil yang hidup menetap di suatu wilayah.
Band.
Kelompok berburu biasanya terdiri dari kurang lebih 80-100 jiwa dan banyak yang
bahkan lebih sedikit jumlah anggotanya. Dalam musim berburu, kelompok kecil
seperti itu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk memburu
hewan dan meramu tumbuhan liar. Pada malam hari mereka mendidrikan kemah atau
tidur dalam gubuk-gubuk darurat yang mereka bangun dengan bahan-bahan yang
mereka peroleh di sekitar mereka. Kelompok berburu hanya berburu dalam
batas-batas suatu wilayah yang telah di tentukan. Kelompok itu mengetahui
secara rinci semua cirri-ciri dari wilayah mereka, termasuk jenuis flora dan
faunanya. Wilayah perburuan biasanya dipertahankan sekuat tenaga terhadap
serangan-serangan kelompok-kelompok lain.
Dalam
musim berburu, suatu band biasanya
terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil, yang saling memencar, sehingga pada saat-saat seperti itu
desa-desa induk mereka tampak sunyi dan hamper tak berpenghuni. Namun pada
waktu tidak ada kegiatan berburu, semua kelompok berkumpul kembali di desa-desa
induk masing-masing. Pada waktu mereka berkumpul mereka mengadakan berbagai
kesibukan dalam kehidupan sosial mereka, dengan mengadakan pesta-pesta, upacara-upacara
keagamaan,dll.
Setiap
musim berburu, suatu kelompok berburu biasanya pindah ke lokasi berburu yang
berbeda, yang sesuai dengan suatu pola yang agak tetap. Namun ada kalanya
mereka terpaksa mengubah arahnya karena berbagai sebab, misalnya berkurangnya
hewan buruan di wilayah adat mereka. Dalam jangka waktu lama perjalanan
kelompok-kelompok berburu seringkali dapat mencapai daerah-daerah uyang jauh
letaknya. Penggalian-penggalian yang dilakukan para ahli prasejarah menunjukkan
bahwa dari bekas-bekas alat kelompok-kelompok suku bangsa pemburu di zaman
prasejarah diketahui bahwa mereka telah menempuh jarak yang sangat besar dalam
suatu jangka waktu beribu-ribu tahun dan bahkan telah melintasi suatu benua.
Kelompok-kelompok berburu yang menurunkan suku-suku bangsa Indian di Amerika
Utara dan Amerika Selatan konon berasal dari bagian timur-laut Benua Asia, yang
sekitar 25.000 tahun yang lalu menyeberangi Selat Bering, dan kemudian menyebar
di seluruh Benua Amerika selama sekitar 17.000 tahun. Pola-pola kehidupan
kelompok-kelompok berburu diuraikan oleh B.Spencer dan J.F.Gillin dalam buku
mereka mengenai suku bangsa Arunta di Australia.
Suku-suku
bangsa pemburu yang hidup dengan pola seperti tersebut, di abad 20 ini tidak
banyak di jumpai lagi, dan sisa-sisanya yang masih ada adalah;
kelompok-kelompok kecil suku bangsa Pygmee di pedalaman Togo, Kamerun dan
Kongo, dan kelompok-kelompok Bushman di daerah Gurun Kalahari di Afrika
Selatan. Di Asia kelompok-kelompok semacam itu hanya ada di beberapa daerah di
Asia Tenggara (misalnya di pedalaman Malaysia) dan Siberia Timur-laut. Demikian
juga di Australia masih ada beberapa kelompok di pedalaman Queensaland dan New
South Wales. Di Indonesia (termasuk Irian Jaya) kelompok-kelompok pemburu dan
peramu itu juga sudah hamper tidak ada lagi, kecuali di daerah pedalaman Sumtra
Timur (misalnya orang Sakai,Kubu, dll), dan di Pedalaman Kalimantan (orang
Punan). Di Irian Jaya hampir semua suku bangsa telah bercocoktanam.
Selain
kelompok kelompok pemburu di daerah tersebut, suku-suku bangsa yang hidup
sebagai peternak juga hidup dalam kelompok kelompok dengan cirri-ciri komuniti kecil yang dapat
disebut band pula. Dalam musim-musim
tertentu kelompok-kelompok ternak bersama sekuruh keluarga mereka
menggembalakan terrnak mereka ke padang-padang rumput. Pada malam hari mereka
membangun kemah atau tadah angin sederhana, yang mereka bawa ke mana pun mereka
pergi. Arah gerak penggembaraan itu mengikuti pola yang tetap dalam batas-batas
suatu wilayah yang juga mereka pertahankan dengan gigih terhadap serangan
kelompok-kelompok lain. Oleh sebab terjadi perubahan-perubahan arah serupa itu,
pola perpindahan kelompok peternak itu seakan-akan lebih cepat menyebar dan
meliputi wilyanh yang lebih luas daripada perpindahan pada suku-suku bangsa
pemburu.
Suku-suku
bangsa peternak pada umumnya mempunyai sifat yang agresif, karena mereka
seringkali harus menghadapi pencurian-pencurian hewan ternak mereka oleh
kelompok-kelompok ternak lain, dan karena mereka juga sering harus berperang
melawan kelompok-kelompok lain untuk memperebutkan suatu wilyah penggembalaan
yang baik. Dalam sejarah kebudayaan umat manusia suku bangsa peternak memang
sering bersifat agresif, seperti kelompok-kelompok peternak Mongol-Tartar di
Asia Tengah, yang dalam abad ke-12 dan ke-13 berperang hingga mencapai Kiev di
daerah Sungai Jnepr di Rusia, yang mereka duduiki dalam tahun 1240. Begitu juga
kelompok-kelompok peternak Arab Badawi, yang dalam abad 7 hingga abad ke-11
menguasai sebagian besar Benua Asia Barat daya dan sebagian besar Afrika Utara.
Ahli
antropologi E.E. Evand Pritchard telah membuat suatu deskripsi yang rinci
mengenai kehidupan kelompok penggembala ternak Niger yang tinggal di daerha
hulu Sungai Nil di Sudan Selatan. Penelitian mengenai pola-pola gerak perpindahan
menurut musim dan perubahan gerak perpindahan kelompok-kelompok Fula di daerah
dataran tinggi Yos di Nigeria Utara, telah di teliti dan di deskripsi dengan
baik oleh D.J. Stenning.
Suku-suku
bangsa peternak yang hidup dalam komunitas kecil sekarang masih ada di negra
Rusia, khususnya di Siberia Timur Laut, Siberia Tengah (daerah Sungai Lena dan
Yensei, maupun di negara Kazakh dan Kirghiz). Di Indonesia tidak ada suku-suku
bangsa yang hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang menggembalakan ternak secara
besar-besaran.
Desa.
Desa adalah wilyah yang di huni oleh suatu komunitas kecil secara tetap.
Suku-suku bangsa penghuni desa umumnya bermatapencaharian bercocoktanam atau
menangkap ikan. Berdasrkan pola perkampungannya, ada beberapa tipe desa.
Dalam
masyarakat suku-suku bangsa peladang, desa biasanya tidak dihuni sepanjang
masa, karena para peladang umumnya turut pindah bersama dengan ladangnya,
terutama apabila jarak anatara desa dan ladang mereka menjadi terlalu besar.
Sebabnya adalah karena setiapkeluarga inti membangun rumahnya di tegah lading
mereka. Setiap 3 atau 4 tahun sekali mereka turut pindah dengan berpindahnya
ladang mereka.
Dibandingkan
dengan pola perkampungan desa-desa orang Subanun, di Indonesia desa-desa lebih
mengelompok padat. Desa-desa di Indonesia seperti ini jarang turut pindah
dengan lading; dan makin besar desanya, makin tetaplah sifatnya. Desa-desa suku
bangsa Iban di Kalimantan Barat, misalnya terdiri dari sebanyak kurang lebih
150 jiwa. Peladang-peladang yang ladangnya terlalu jauh jaraknya dari desa,
biasanya membangun gubuk sementara di tengah ladang mereka. Namun gubuk-gubuk
yang semula dimaksudkan sebagai tempat hunian sementara, seringkali merupakan
awal dari suatu desa baru yang masih menjadi bagian desa induk, tetapi yang
lambat laun melepaskan diri dan berdiri sendiri. Proses perpisahan seperti itu
tidak hanya terjadi pada desa-desa orang Iban, tetapi juga di desa-desa
peladang lain di dunia.
Ahli
antropologi W.C. Bennett dan R.M. Zing telah membuat deskripsi mengenai komunitas
kecil serupa itu di desa-desa suku bangsa Indian Tarahumara di Meksiko Barat.
Pola kehidupan dalam desa-desa suku bangsa Tarahumara juga ada di Indonesia,
yaitu desa-desa orang Toraja di daerah pegunungan Sulawesi Tengah, yang
biasanya sepi selama musim bercocok tanam, tetapi penuh dan ramai selama masa
panen.
Sebagian
besar desa-desa di Indonesia merupakan kelompok-kelompok perkampungan tetap
yang dihuni sepanjang tahun. Terutama di daerah-daerah dengan pertanian
menetap, desa adalah pusat kehidupan para petani.
Didaerah
pegunungan, desa seringkali berlokasi di lembah-lembah atau di tepi danau.
Suku-suku bangsa yang tinggal di daerah pedalaman sekitar Palembang, di daerah
pedalaman Kalimantan, Sulawesi Tengah atau pulau-pulau lain di Indonesia, dapat
dialokasikan menurut lembah, sungai, dan danau-danau yang ada di suatu daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar