MASALAH PEMBANGUNAN
POLITIK DI INDONESIA
Penekanan
akan perlunya pembangunan ekonomi untuk mendorong peningkatan kesejahteraan
masyarakat muncul pada awal paruh kedua tahun 60-an. Pada tahun 1966 penataan
sistem perekonomian dicanangkan melalui Program Stabilisasi dan Rehabilitasi
Ekonomi. Sampai dengan pertengahan tahun 90an, berbagai kemajuan ekonomi telah
dicapai. Kebutuhan pokok masyarakat tercukupi dan swasembada pangan beras
terwujud pada tahun 1984. Perekonomian tumbuh baik dengan tingkat pertumbuhan
yang cukup tinggi dan stabilitas ekonomi dapat terjaga. Peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara nyata dapat ditunjukkan antara lain melalui
peningkatan pendapatan perkapita sekitar sepuluh kali lipat, menurunnya secara
drastis jumlah penduduk miskin, serta tersedianya lapangan kerja yang memadai
bagi rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang pesat mendorong penyediaan berbagai
sarana dan prasarana perekonomian penting yang dibutuhkan untuk mempercepat
pembangunan ekonomi. Secara bertahap, struktur ekonomi berubah dari yang semula
didominasi oleh pertanian tradisional ke arah kegiatan ekonomi lebih modern
dengan penggerak sektor industri. Ekspor nonmigas yang menunjukkan peningkatan
kemampuan untuk menghasilkan produk dan daya saing produk Indonesia terhadap produk
negara lain meningkat pesat. Bahkan dalam paruh kedua 80-an, terjadi perubahan
struktur ekspor dari yang semula didominasi oleh ekspor migas menjadi ekspor
yang di dominasi oleh ekspor nonmigas.
Periode
pelaksanaan pembangunan jangka panjang pertama berakhir pada tahun 1993. Untuk
melanjutkan keberhasilan pembangunan jangka panjang pertama dan sekaligus
mempertahankan momentum pembangunan yang ada, dirumuskan rencana pembangunan
jangka panjang kedua. Upaya perwujudan sasaran pembangunan jangka panjang kedua
tersebut terhenti akibat krisis ekonomi yang melumpuhkan perekonomian nasional
pada tahun 1997. Krisis yang dimulai di Thailand tersebut menunjukkan bahwa
fundamental ekonomi negara-negara di Asia Tenggara belum cukup kuat menahan
gejolak eksternal. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode sebelumnya
lebih banyak didorong oleh peningkatan akumulasi modal dan tenaga kerja, dan
bukan oleh peningkatan produktivitas perekonomian secara berkelanjutan. Selain
itu, krisis ekonomi juga menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi selama ini tidak
disertai dengan peningkatan efisiensi kelembagaan ekonomi dan banyaknya praktik ekonomi biaya tinggi
yang telah menurunkan kepercayaan pelaku baik dalam maupun luar negeri. Perekonomian
nasional masih rentan, tidak saja terhadap gejolak eksternal, tetapi juga
terhadap gejolak di dalam negeri.
Krisis
ekonomi berdampak pada menurunnya kualitas
infrastruktur terutama prasarana jalan dan perkeretaapian yang kondisinya
sangat memprihatinkan. Sekitar 39 persen total panjang jalan diantaranya
mengalami kerusakan ringan dan berat serta hanya sekitar 62 persen jalan kereta
api yang masih dioperasikan. Peran armada nasional menurun baik untuk angkutan
domestik maupun internasional sehingga pada tahun 2003 masing-masing hanya mampu
memenuhi 53 persen dan 3 persen, walaupun sesuai konvensi internasional yang
berlaku pangsa pasar armada nasional 40 persen untuk muatan ekspor-impor dan
100 persen untuk angkutan domestik. Sedangkan untuk angkutan udara, perusahaan
penerbangan relatif mampu menyediakan pelayanan yang terjangkau. Disamping
masalah yang disebabkan oleh krisis ekonomi, pembangunan prasarana jalan dan
perkeretaapian mengalami kendala sejak pelaksanaan desentralisasi yang
berpengaruh pada pembiayaan pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan
sarana transportasi. Hal ini karena terbatasnya dana pemerintah dan peraturan
perundang-undangan yang masih tumpang tindih.
Kegagalan
dalam melaksanakan pembangunan jangka panjang kedua tersebut mendorong
disusunnya kembali langkah-langkah pembangunan yang baru. Krisis ekonomi
Indonesia menuntut ketahanan perekonomian yang lebih kuat agar berdaya saing
dan berdaya tahan tinggi. Berbagai permasalahan dan tantangan yang muncul pada
saat dan pasca krisis 1997 terutama dengan meningkatnya utang pemerintah yang
memerlukan pengelolaan jangka panjang yang tepat dengan tetap menjaga
terwujudnya keberlanjutan fiskal, peningkatan disiplin pergaulan perekonomian
global yang semakin tinggi serta mengarah pada ketidakpastian akhir-akhir ini,
menjadi dasar utama perumusan arah kebijakan dan prioritas yang harus diambil
dalam jangka panjang. Sementara itu taraf pendidikan penduduk meningkat
yang antara lain diukur dengan meningkatnya angka melek aksara penduduk usia 15
tahun ke atas dari 81,5 persen pada tahun 1990 menjadi 89,9 persen pada tahun
2003. Dalam kurun waktu yang sama jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang
telah menamatkan pendidikan jenjang SMP/MTs ke atas meningkat dari 26,0 persen
menjadi 45,8 persen. Perbaikan tingkat pendidikan tersebut didorong oleh
meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) atau persentasi penduduk yang
bersekolah pada semua kelompok usia. Pada tahun 2003, APS penduduk usia 7-12
tahun mencapai 96,4 persen, APS penduduk usia 13-15 tahun sebesar 81,0 persen,
dan APS penduduk usia 16-18 tahun sebesar 51,0 persen. Kondisi tersebut belum
memadai untuk menghadapi persaingan global. Oleh karena itu, tantangan yang
dihadapi pembangunan pendidikan adalah meningkatkan proporsi penduduk yang
menyelesaikan pendidikan dasar ke jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
dan menurunkan penduduk buta aksara. Kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup
tinggi antarkelompok masyarakat termasuk antara penduduk kaya dan penduduk
miskin, antara penduduk perkotaan dan perdesaan, antara penduduk di wilayah
maju dan tertinggal, dan antar jenis kelamin yang harus dapat diturunkan secara
signifikan. Tantangan lain yang dihadapi adalah meningkatkan kualitas dan
relevansi pendidikan sehingga dapat mendorong pembangunan nasional secara menyeluruh
termasuk dalam mengembangkan kebanggaan kebangsaan, akhlak mulia, kemampuan
untuk hidup dalam masyarakat yang multikultur serta daya saing yaitu memiliki
etos kerja tinggi, produktif, kreatif dan inovatif.
Kualitas
tenaga
kerja Indonesia masih rendah yang ditunjukkan oleh rendahnya tingkat
pendidikan angkatan kerja. Sebesar 56,7 persen (tahun 2003) tenaga kerja
berpendidikan SD ke bawah. Angkatan kerja lulusan perguruan tinggi atau diploma
ke atas hanya 4,6 persen. Tingkat pendidikan penduduk yang masih rendah,
berpengaruh pula pada rendahnya daya serap atau adaptabilitas masyarakat
terhadap teknologi, dan berdampak pada kurang berkembangnya teknologi sehingga
kurang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Namun
Pemberdayaan
perempuan telah menunjukkan peningkatan yang ditandai dengan
program-program pembangunan yang makin responsif gender serta peningkatan
kualitas hidup perempuan dan anak. Demikian pula partisipasi pemuda dalam
pembangunan makin membaik seiring dengan budaya olahraga yang makin meluas di
masyarakat. Kesejahteraan sosial masyarakat telah meningkat dengan adanya
pemberdayaan, pelayanan rehabilitasi, perlindungan sosial Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS).
Mengamati
pembangunan politik di Indonesia pasca Reformasi 1998 adalah salah satu upaya
untuk menambah wawasan serta menjadikan kita kritis terhadap perubahan dari
periode ke periode. Namun sebaiknya, setiap perubahan yang terjadi harus di
cermati secara positif karena perubahan politik yang terjadi pasti sesuai
denagan situasi dan kondisi yang terjadi pada masa itu dan menjadikannya nilai
tambah dari keberanekaragaman kasanah pemikiran pemimpin kita yang
berbeda-beda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar